NDONESIA dan Malaysia adalah dua negara serumpun yang memiliki banyak kesamaan dari segi sejarah, sosial dan budaya. Karena itu, hampir setiap tahun selalu diselenggarakan Simposium Kebudayaan Indonesia dan Malaysia (SKIM) yang membahas berbagai hal menyangkut hubungan kedua negara.
Hubungan kedua negara ini sudah belangsung lama sebelum zaman kolonialisme masuk ke Asia Tenggara, yaitu ditandai dengan adanya migrasi masyarakat etnis Melayu di seputar wilayah Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah), Sumatera dan Kalimantan.
Tercatat dalam sejarah, kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit pernah mempunyai pengaruh sangat kuat di tanah Melayu, kini Malaysia, khususnya dalam hal perdagangan. Akan tetapi, hubungan itu kerap tidak selamanya berlangsung baik, Malaysia lebih banyak melukai dan merugikan Indonesia sebagai saudara serumpun.
Konfrontasi 1962-1966
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat wilayah administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara terdapat Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, yang kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian penarikan dirinya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di utara Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di Asia Tenggara, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Indonesia sebenarnya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia, tetapi bila mayoritas masyarakat di daerah memilihnya melalui sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB dan bukan atas kehendak Inggris.
Tetapi, pada 16 September 1963, Federasi Malaysia resmi dibentuk sebelum hasil dari pemilihan dikeluarkan PBB. Malaysia melihat pembentukan federasi adalah sebagai masalah dalam negeri mereka, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris. Sejak saat itu terjadi demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI mereka merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman-Perdana Menteri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak lambang negara Indonesia.
Soekarno murka dan ingin balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan Ganyang Malaysia. Pada 20 Januari 1963, sebagai langkah awalnya Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia.
Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia berjalan tidak seimbang, sebab Malaysia dibantu oleh Inggris dan Australia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia justru adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2.000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia mulai berkurang menjelang akhir 1965, hal ini disebabkan adanya konflik dalam negeri Indonesia. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik.
Perbaikan Hubungan
Perjanjian penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Malaysia membuka babak baru hubungan antarkedua negara yang lebih baik. Kedua negara itu pada akhirnya banyak bekerjasama dalam berbagai sektor pembangunan. Tetapi, Malaysia yang saat itu baru menerima kemerdekaan dari Inggris, ternyata lebih banyak membutuhkan bantuan Indonesia untuk membangun negerinya.
Sebagai upaya membangun hubungan yang lebih baik maka Pemerintah Indonesia, saat itu dipimpin Soeharto, mulai memberikan banyak bantuan kepada Malaysia. Banyak pelajar Malaysia dikirimkan ke Indonesia untuk belajar, serta berapa banyak guru Indonesia yang dikirimkan ke Malaysia untuk mengajar hingga pada akhirnya kualitas pendidikan Malaysia bisa lebih bagus.
Selain sektor pendidikan, sumbangan lain yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada Malaysia adalah sektor kesehatan dan tenaga kerja (ahli dan non-ahli). Banyak tenaga kerja Indonesia dikirimkan untuk mengelola perkebunan, membangun gedung-gedung dan berbagai infrastruktur di Malaysia dan hal ini sebenarnya masih berlangsung hingga saat ini.
Perampasan dan Pelecehan
Malaysia sebagai sebuah negara rasanya sudah tidak memandang Indonesia sebagai saudara dan tetangga baiknya. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Malaysia banyak melakukan hal-hal yang merugikan Indonesia. Segala bentuk protes diajukan kepada Malaysia tetapi protes tersebut justru tidak ditanggapi dengan baik oleh Pemerintah Malaysia.
Perampasan Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia pada 2002 telah membuat pemerintah dan masyarakat Indonesia kecewa, yang kemudian melampiaskannya dengan turun ke jalan. Demonstrasi besar-besaran masyarakat Indonesia justru ditanggapi dingin oleh pemerintah dan juga masyarakat Malaysia. Media di Malaysia memberitakan bahwa tindakan masyarakat Indonesia cenderung berlebihan dalam menyikapi kasus Pulau Sipadan dan Ligitan.
Hal yang membuat Indonesia lebih kecewa ketika Malaysia mengerahkan armada angkatan laut dan udaranya serta mengkalim atas Pulau Ambalat. Hal ini tentu sangat membuat marah rakyat Indonesia yang baru saja kehilangan Sipadan dan Ligitan.
Banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negeri jiran juga membuka permasalahan baru terkait dengan penyiksaan TKI di Malaysia. Tenaga kerja infromal asal Indonesia adalah yang paling banyak mendapatkan perlakuan tidak baik dari para majikan dan pemerintah Malaysia. Tetapi, tenaga kerja formal pun sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.
Penyiksaan TKI di Malaysia terungkap ketika korban berhasil melarikan diri dari kurungan dan penyiksaan majikannya. Tereksposnya banyak kasus penyiksaan TKI oleh majikan mereka di Malaysia mengindikasikan bahwa Pemerintah Malaysia tidak bisa memberikan sanksi hukum yang tegas kepada warga negaranya yang melecehkan HAM seorang TKI. Lain hal ketika seorang TKI membunuh majikannya untuk membela diri justru dikenakan hukuman berat oleh Pemerintah Malaysia. Peristiwa ini membuktikan bahwa terjadi ketidakadilan hukum di Malaysia.
Pelecehan itu juga dirasakan wasit karate asal Indonesia, Donal Peter Luther Kolopita yang dipukul oleh empat oknum polisi Malaysia tanpa alasan yang jelas. Seorang istri atase pendidikan Indonesia di Malaysia pun pernah terkena sweeping oleh Ikatan Relawan Malaysia (RELA) di Kuala Lumpur meski sudah menunjukkan kartu diplomat.
Belum lagi permasalahan-permasalahan di atas terselesaikan, Pemerintah Malaysia membuat permasalahan baru dalam bidang seni dan budaya dengan mengklaim sebagian seni dan budaya Indonesia sebagai milik mereka. Sebut saja lagu Rasa Sayange, alat seni Sunda angklung, reog Ponorogo dan masakan rendang yang dipatenkan Malaysia.
Belakangan Pemerintah Malaysia kembali membuat permasalahan dengan menangkap Petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang notabene masih berada di wilayah perairan Indonesia. Nota keberatan pun diajukan Pemerintah Indonesia namun rupanya Pemerintah Malaysia tidak mau meminta maaf atas perbuatan aparatnya, bahkan balik mengecam tindakan demonstrasi di Indonesia.
Atas dasar sikap Malaysia tersebut sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia memberikan pendangan dan sikap yang tegas terhadap negara tetangga tersebut. Pencabutan hubungan diplomatik justru merupakan hal yang wajar dilakukan dalam konteks politik internasional, manakala tindakan Malaysia dilakukan secara berulang-ulang dan peringatan secara halus tidak dihiraukan
Tinjauan KRITIS Hubungan Indonesia - Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar